awal sejarah NU

 Hasil gambar untuk nu


Nahdlatul Ulama (NU) bermunculan* paling tidak* memiliki* tiga motivasi. Pertama, mendirikan* nilai-nilai agama dalam masing-masing* lini kehidupan. Kedua, membina* nasionalisme. KH Hasyim Asy’ari mengatakan, agama dan nasionalisme tidak bertentangan, bahkan saling memperkuat guna* mewujudkan prinsip Islam rahmatan lil ‘alamin. Motif ketiga, menjaga* paham Ahlussunnah wal Jamaah.

Dalam perkembangannya, NU tidak tidak banyak* menghadapi resistensi yang tinggi khususnya* dari kumpulan* penjajah dan kumpulan* yang mengatasnamakan permurnian akidah (puritan), tetapi* berupaya membredel* tradisi dan kebiasaan* Nusantara yang adalah*identitas kebangsaan. Hingga masa orde baru pun, NU masih terdiskriminasi oleh rezim. Walau demikian, NU malah* makin besar, berkembang, dan memiliki* pengaruh luas di tengah masyarakat.

Tugas yang diemban NU dari masa ke masa bakal* terus merasakan* tantangan yang tidak mudah. Namun, berkaca pada dinamika internal organisasi, bakal* lebih baik andai* warga NU mengetahui* dan memahami* titik mula* perkembangan NU. Titik mula* sejarah pertumbuhan* NU terjadi saat* perhelatan Muktamar ke-9 NU di Banyuwangi, Jawa Timur pada 1934.

Berdasarkan keterangan dari* Choirul Anam (1985), minimal* ada sejumlahdalil* kenapa Muktamar di Banyuwangi itu* dijadikan titik mula* perkembangan sejarah NU di Banyuwangi.

Pertama, sebab* di Muktamar Banyuwangi berikut* mulai diberlakukan mekanisme kerja baru, yaitu* pemisahan sidang antara Syuriyah dan Tanfidziyah di dalam muktamar. Sejak tersebut* Tanfidziyahmenyelenggarakan* sidang sendiri dengan materi persoalan* sendiri. Juga Syuriyah yang mengurus majelisnya sendiri dengan persoalan* yang tentunyaberhubungan* dengan permasalahan* agama. Namun, keputusan yang didapat tetap menjadi kesepkatan organisasi NU secara umum.

Sebelum itu, sidang-sidang di dalam muktamar dipimpin langsung oleh Syuriyah. Pengurus Tanfidziyah boleh ikut dalam sidang – yang seringkali* dibagi dalam tujuh majelis – namun* tidak berhak bersuara (ikut memutuskan) sebuah* persoalan, khususnya* yang bersangkutan** dengan hukum agama.

Pengurus Tanfidziyah ‘boleh ikut’ memutuskan melulu* pada perkara yang tidak memerlukan penjelasan* hukum agama. Hak dan kekuasaan tersebut* memang sudah ditata* dalam Statuen NU 1926 sebagai berikut:

“Kekuasaan jang tertinggi dari perkoempoelan ini jaitoe oleh kongres dan oetoesan-oetoesan. Sekalian poetoesan di dalam kongres-kongres jang perloe dengan penjelasan* hoekoem agama hanja boleh dipoetoes oleh oetoesan-oetoesan dari kelompok* goeroe agama (oelama). Lain-lain oeroesan jang tiada begitoe perloe dengan penjelasan* hoekoem agama, oetoesan jang boekan goeroe agama (oelama) boleh turut memoetoesnja.”

Kedua, semenjak* Muktamar Banyuwangi tatacara persidangan mulai diperbarui. Apabila pada sejumlah* kali muktamar sebelumnya, sidang-sidang majelis lumayan* dilakukan dengan duduk melantai di atas tikar atau permadani sambil membawa** tumpukan kitab-kitab madzhab, kebiasaantersebut* tidak lagi dijumpai di Muktamar Banyuwangi. Bentuk persidangan sudah ditata* rapi dan agak formal. Peserta sidang dipersilakan duduk di kursi menghadap pemimpin sidang.

Ketiga, dalam muktamar kesembilan ini mulai terlihat* peran tokoh-tokoh muda NU berpandangan luas laksana* Mahfudz Siddiq, Wahid Hasyim, Thohir Bakri, Abdullah Ubaid, dan anak-anak muda lainnya. Mereka ikutmengucapkan* pandangannya mengenai sekian banyak * masalah kemasyarakatan dan kebangsaan.

Dalam masa pertumbuhan* ini, NU mulai bersungguh-sungguh menyimak* masalah kepemudaan. Berbagai organisai pemuda yang pada dasarnya satu aspirasi dengan NU dikoleksi* dalam satu wadah sebagai benteng pertahanan. Sehingga dalam muktamar kesembilan ini lahirlah suatu* keputusan: “Membentuk wadah pemuda yang diberi nama Anshor Nadhlatoel Oelama (ANO).

Dari uraian di atas, pada prinsipnya, pertumbuhan* NU terdapat* pada visi dan cita-cita mewujudkan Islam rahmatan lil ‘alamin yang berupaya tidak jarang* kali* memoderasi Islam dengan kehidupan masyarakat, bangsa, dan negara. Di titik ini NU, tidak melulu* menyikapi pertumbuhan* dunia global, tetapi pun* terus berupaya menjaga* tradisi dan kebiasaan* baik yang ditancapkan oleh semua* ulama mula-mula* dan semua* pendiri bangsa. (Fathoni Ahmad)
Titik Awal Sejarah Perkembangan NU
Nahdlatul Ulama (NU) bermunculan* paling tidak* memiliki* tiga motivasi. Pertama, mendirikan* nilai-nilai agama dalam masing-masing* lini kehidupan. Kedua, membina* nasionalisme. KH Hasyim Asy’ari mengatakan, agama dan nasionalisme tidak bertentangan, bahkan saling memperkuat guna* mewujudkan prinsip Islam rahmatan lil ‘alamin. Motif ketiga, menjaga* paham Ahlussunnah wal Jamaah.

Dalam perkembangannya, NU tidak tidak banyak* menghadapi resistensi yang tinggi khususnya* dari kumpulan* penjajah dan kumpulan* yang mengatasnamakan permurnian akidah (puritan), tetapi* berupaya membredel* tradisi dan kebiasaan* Nusantara yang adalah*identitas kebangsaan. Hingga masa orde baru pun, NU masih terdiskriminasi oleh rezim. Walau demikian, NU malah* makin besar, berkembang, dan memiliki* pengaruh luas di tengah masyarakat.

Tugas yang diemban NU dari masa ke masa bakal* terus merasakan* tantangan yang tidak mudah. Namun, berkaca pada dinamika internal organisasi, bakal* lebih baik andai* warga NU mengetahui* dan memahami* titik mula* perkembangan NU. Titik mula* sejarah pertumbuhan* NU terjadi saat* perhelatan Muktamar ke-9 NU di Banyuwangi, Jawa Timur pada 1934.

Berdasarkan keterangan dari* Choirul Anam (1985), minimal* ada sejumlahdalil* kenapa Muktamar di Banyuwangi itu* dijadikan titik mula* perkembangan sejarah NU di Banyuwangi.

Pertama, sebab* di Muktamar Banyuwangi berikut* mulai diberlakukan mekanisme kerja baru, yaitu* pemisahan sidang antara Syuriyah dan Tanfidziyah di dalam muktamar. Sejak tersebut* Tanfidziyahmenyelenggarakan* sidang sendiri dengan materi persoalan* sendiri. Juga Syuriyah yang mengurus majelisnya sendiri dengan persoalan* yang tentunyaberhubungan* dengan permasalahan* agama. Namun, keputusan yang didapat tetap menjadi kesepkatan organisasi NU secara umum.

Sebelum itu, sidang-sidang di dalam muktamar dipimpin langsung oleh Syuriyah. Pengurus Tanfidziyah boleh ikut dalam sidang – yang seringkali* dibagi dalam tujuh majelis – namun* tidak berhak bersuara (ikut memutuskan) sebuah* persoalan, khususnya* yang bersangkutan** dengan hukum agama.

Pengurus Tanfidziyah ‘boleh ikut’ memutuskan melulu* pada perkara yang tidak memerlukan penjelasan* hukum agama. Hak dan kekuasaan tersebut* memang sudah ditata* dalam Statuen NU 1926 sebagai berikut:

“Kekuasaan jang tertinggi dari perkoempoelan ini jaitoe oleh kongres dan oetoesan-oetoesan. Sekalian poetoesan di dalam kongres-kongres jang perloe dengan penjelasan* hoekoem agama hanja boleh dipoetoes oleh oetoesan-oetoesan dari kelompok* goeroe agama (oelama). Lain-lain oeroesan jang tiada begitoe perloe dengan penjelasan* hoekoem agama, oetoesan jang boekan goeroe agama (oelama) boleh turut memoetoesnja.”

Kedua, semenjak* Muktamar Banyuwangi tatacara persidangan mulai diperbarui. Apabila pada sejumlah* kali muktamar sebelumnya, sidang-sidang majelis lumayan* dilakukan dengan duduk melantai di atas tikar atau permadani sambil membawa** tumpukan kitab-kitab madzhab, kebiasaantersebut* tidak lagi dijumpai di Muktamar Banyuwangi. Bentuk persidangan sudah ditata* rapi dan agak formal. Peserta sidang dipersilakan duduk di kursi menghadap pemimpin sidang.

Ketiga, dalam muktamar kesembilan ini mulai terlihat* peran tokoh-tokoh muda NU berpandangan luas laksana* Mahfudz Siddiq, Wahid Hasyim, Thohir Bakri, Abdullah Ubaid, dan anak-anak muda lainnya. Mereka ikutmengucapkan* pandangannya mengenai sekian banyak * masalah kemasyarakatan dan kebangsaan.

Dalam masa pertumbuhan* ini, NU mulai bersungguh-sungguh menyimak* masalah kepemudaan. Berbagai organisai pemuda yang pada dasarnya satu aspirasi dengan NU dikoleksi* dalam satu wadah sebagai benteng pertahanan. Sehingga dalam muktamar kesembilan ini lahirlah suatu* keputusan: “Membentuk wadah pemuda yang diberi nama Anshor Nadhlatoel Oelama (ANO).

Dari uraian di atas, pada prinsipnya, pertumbuhan* NU terdapat* pada visi dan cita-cita mewujudkan Islam rahmatan lil ‘alamin yang berupaya tidak jarang* kali* memoderasi Islam dengan kehidupan masyarakat, bangsa, dan negara. Di titik ini NU, tidak melulu* menyikapi pertumbuhan* dunia global, tetapi pun* terus berupaya menjaga* tradisi dan kebiasaan* baik yang ditancapkan oleh semua* ulama mula-mula* dan semua* pendiri bangsa. insya allah


EmoticonEmoticon

Mengenal Perangkat Keras Jaringan Komputer

   jaringan komputer merupakan kelompok* dua atau lebih komputer yang saling terhubung satu sama lain. Saling terhubungnya komputer ini dia...